Hari Ibu, Tanpa Ibu.

Arunikata
3 min readDec 22, 2022

--

Ibu, sepertinya akan menyenangkan jika kita duduk bersebelahan di kursi-kursi ini.

Selamat Hari Ibu, teruntuk ibu-ibu yang baik di seluruh semesta. Ibunya kucing-kucing, ibunya ikan-ikan, ibunya burung-burung, ibunya domba-domba, ibunya manusia-manusia, ibunya siapa pun dan apa pun itu. Yang terpenting, dia adalah ibu yang baik.

Selamat merindu, teruntuk anak-anak yang dalam hidupnya sudah tidak ada lagi yang dipanggilnya Ibu, Mama, Bunda, Umi, Mae, atau sebutan-sebutan lainnya.

Selamat Hari Ibu, teruntuk ibu saya yang baik. Dan, selamat merindu, teruntuk diri saya sendiri.

Sudah lama, ya. Iya. Namun mengapa lukanya sesekali masih menganga?

Saya pun tak tahu jawabannya. Saya pun bertanya-tanya. Apakah luka kehilangan bisa sembuh sepenuhnya? Apakah ada obat paling mujarab untuk mengobati luka kehilangan? Terutama, kehilangan ibu.

Luka kehilangan itu masih ada, setelah bertahun-tahun lamanya. Tiap kali luka itu menganga, sakitnya seolah menciptakan awan hitam di atas kepala. Awan hitam yang siap menurunkan hujan lebat disertai petir.

Lantas, apa penyebab yang memunculkan kembali luka-luka itu? Saya tidak pernah tahu apa jawaban pastinya. Karena, menurut saya jawabannya terlalu banyak, dan, beraneka ragam, setiap orang mempunyai jawabannya masing-masing.

Bagi saya, salah satu jawabannya adalah kerinduan. Kerinduan layaknya paradoks bagi saya. Di satu sisi, saya mensyukurinya. Karena, itu berarti kenangan seseorang yang telah tiada masih hidup dalam hati saya. Bahwa perasaan itu masih ada. Namun, di sisi lain, terkadang saya membencinya. Saya ingin melawannya, ketika kerinduan-kerinduan itu membangkitkan kembali luka-luka kehilangan yang perlahan mulai menutup.

Lalu, perlukah saya mencari obat paling mujarab untuk mengusir kerinduan alih-alih mencari obat paling mujarab untuk mengobati luka kehilangan?

Tapi, lantas bagaimana jika obat paling mujarab untuk mengusir kerinduan itu benar-benar ada? Benarkah saya perlu memakainya? Lalu, saya tidak akan pernah merindu lagi. Membayangkannya saja rasanya sudah membuat saya urung untuk memakainya. Bagaimana mungkin, hidup saya tidak akan diisi kerinduan sama sekali akan sosok yang telah tiada? Apalagi, jika sosok itu adalah ibu saya? Rasanya saya lebih memilih bermuram durja, alih-alih menghapus kerinduan sepenuhnya dari kepala dan hati saya.

Bukankah, kerinduan bukan hanya perihal luka? Bukankah, kerinduan hadir salah satu atau duanya adalah untuk mengingatkan kita untuk mengenang dan tidak melupa sambil terus menghidupi hidup sebaik-baiknya? Mengenang dan tidak melupa.Bahwa, sosok-sosok yang telah tiada itu, pernah ada. Bahwa, sosok-sosok yang telah tiada itu, hadirnya dan hidupnya, pernah menjadi bagian dari hidup kita. Bahwa, garis-garis kehidupan kita pernah saling berkait dan bersinggungan, menorehkan lukisan kenangan. Hingga di satu titik, garis-garis itu berhenti saling berkait dan bersinggungan. Dan, titik itu adalah maut.

Lalu, bagaimana jika kerinduan itu sepenuhnya hilang? Bukankah berarti lukisan kenangan itu juga akan sepenuhnya hilang? Lalu, perasaan cinta kasih yang masih kita simpan juga akan sepenuhnya hilang? Jika memang seperti itu cara kerjanya; menghilangkan rasa cinta kasih akan menghilangkan kenangan, kenangan yang hilang akan meniadakan kerinduan, lalu tidak adanya kerinduan tidak akan memunculkan kembali luka kehilangan.

Jikalau begitu cara kerjanya, saya mundur. Saya lebih memilih untuk menunaikkan ibadah merindu.

Selamat Hari Ibu, Selamat Merindu.

--

--