What I’ve Got From “A Man Called Ove”

Arunikata
4 min readMar 2, 2023

--

A Man Called Ove, pria tua yang mudah sekali mengumpat dan kalau boleh saya kata, kesabarannya setipis tisu. Pria tua yang keinginannya hanyalah mati untuk menyusul istrinya (Sonja) yang telah mendahuluinya, namun usaha bunuh dirinya selalu saja gagal oleh hal-hal yang tak terduga dan membuatnya naik darah.

Ada hal yang menggelitik menurut saya, A Man Called Ove bukanlah novel islami, namun dari membacanya serasa menyadarkan saya kembali akan kebesaran dan kebaikan Tuhan saya, Allah. Melihat Ove yang berkali-kali melakukan percobaan bunuh diri namun ada saja sesuatu hal yang menggagalkannya membuat saya berpikir, “Oh ternyata memang ya, mau sekeras apapun daya dan upaya manusia, tetap ada Allah yang berkehendak dan memegang kendali. Dan, berlaku pula sebaliknya, jikalau Allah sudah berkehendak, tiada daya dan upaya manusia yang bisa dan mampu untuk menolaknya.”

Di bagian awal buku mungkin kita akan dibawa sebal melihat tingkah Ove yang terasa sangat mudah marah dan mengumpat pada apa pun itu. Namun, makin ke belakang kita akan diajak untuk menelusuri masa lalu Ove, menelusuri apa saja yang dihadapi dan dilaluinya hingga bisa membentuk pribadinya yang seperti itu, menelusuri untuk lebih memahami Ove dan ini seperti pengingat bagi diri saya untuk lebih memberikan ruang “memahami” pada orang-orang di sekitar saya yang menurut saya “menyebalkan”, barangkali sifat-sifat itu muncul dari pengalaman tidak menyenangkan yang mereka alami dan emosi-emosi negatif dari pengalaman-pengalaman itu masih ada serta belum selesai. Barangkali, jika kita mau sedikit saja memberikan ruang lebih untuk “memahami”, orang-orang yang menurut kita “menyebalkan” akan berkurang tingkat menyebalkannya di mata kita. Dan, sepertinya dunia akan terasa lebih baik ketika manusia mau sedikit saja memberikan ruang lebih untuk “memahami” sesama manusia.

Jika di awal kamu dibawa merasa sebal dengan Ove, percayalah makin ke belakang kamu akan dibawa merasa bersimpati dan menyayangi Ove. Transisi alur yang halus, character development yang brilian, maksud dan pesan penulis yang ditulis dan disampaikan dengan sangat baik, serta ending yang menurut saya sangat hangat dan meneduhkan membuat novel ini amat sangat layak untuk mendapatkan bintang sempurna.

Berikut saya tuliskan pula beberapa part menarik dari buku ini:

Mencintai seseorang bisa disamakan dengan pindah ke sebuah rumah. Mulanya kau jatuh cinta dengan semua barang barunya, setiap pagi merasa takjub karena semuanya ini milikmu, seakan khawatir seseorang akan mendesak masuk untuk menjelaskan bahwa telah terjadi kesalahan mengerikan, seharusnya kau tidak tinggal di tempat seindah ini.

Lalu, bertahun-tahun kemudian, dinding rumahnya menjadi lapuk, kayunya pecah di sana sini, dan kau mulai mencintai rumah itu bukan karena semua kesempurnaannya, tapi lebih karena ketidaksempurnaannya. Kau mulai mengenal semua sudut dan celahnya. Bagaimana cara menghindari kursi tersangkut di lubangnya ketika udara di luar dingin.

Papan-papan lantai mana yang sedikit meleyot ketika diinjak, atau bagaimana cara membuka pintu lemari pakaian tanpa berderit. Semuanya ini adalah rahasia kecil yang menjadikan rumah itu sebagai rumahmu.”

Lalu, apakah ada yang bisa dilakukan, jika seluruh fondasinya sudah keliru sedari awal?

Untaian kalimat di atas menjadi favorit saya dalam buku ini karena layaknya pengingat dan lecutan bagi diri saya yang di masa depan ingin membangun rumah tangga dengan seseorang, bahwa untuk membangun rumah yang kokoh, perlu fondasi yang benar sedari awal, bukan hanya pasangan saya, namun termasuk pula diri saya sendiri juga perlu mempersiapkan fondasi yang benar.

Dan waktu adalah sesuatu yang ganjil. Sebagian besar dari kita hanya hidup untuk waktu yang membentang di depan kita. Beberapa hari, minggu, tahun. Salah satu momen paling menyakitkan dalam hidup seseorang mungkin muncul bersama pemahaman bahwa usia telah tercapai ketika ada lebih banyak yang harus ditengok ke belakang daripada ke depan. Dan ketika waktu tidak lagi membentang di depan seseorang, hal-hal lain harus dinikmati dalam hidup. Kenangan, mungkin.

Bagian ini cukup menohok saya, saya tidak tahu masa depan saya masih sejauh apa, namun menyadari bahwa sudah cukup banyak yang harus saya tengok ke belakang membuat saya menyesal untuk waktu-waktu yang terbuang sia-sia. Namun, kalau bisa, saya ingin memanfaatkan waktu-waktu yang tersisa dengan lebih sedikit penyesalan.

Kematian adalah sesuatu yang ganjil. Orang menjalani seluruh hidup mereka seolah kematian itu tidak ada, tapi sering kali kematian menjadi salah satu motivasi terbesar untuk hidup. Pada akhirnya, sebagian dari kita begitu menyadari kematian sehingga menjalani hidup lebih keras, lebih tegar, dan dengan lebih banyak kemarahan. Sebagian lagi memerlukan kehadiran kematian secara terus menerus untuk menyadari antitesisnya. Sisanya menjadi begitu terobsesi dengan kematian sehingga mereka memasuki ruang tunggu, lama sebelum kematian itu mengumumkan kedatangannya.

Dan terakhir, bagian ini membuat saya bertanya pada diri saya sendiri, “Bagaimana kamu memandang kematian?”

--

--